THE HIVE TAMANSARI: the hive tamansari

the hive tamansari

BUMN Jasa Konstruksi : Kejar Bisnis ber-Margin Profit Tinggi
Agresif tapi hati-hati, jadi strategi pengembang pelat merah. Bisnis properti/real estat dijadikan andalan untuk recurring income perusahaan induk.


Bisnis properti memang menggiurkan. Siapa pun ingin masuk ke kancahnya, walaupun banyak yang mengakui kalau bisnis ini tidak mudah. Maklum, bukan saja sekadar padat modal, reputasi pun jadi taruhan, baik secara pribadi maupun perusahaan.

Kehadiran para pelaku bisnis di industri ini juga tak bisa dilepaskan dari situasi sosial dan ekonomi. Yaitu pertumbuhan penduduk yang bergerak menurut deret ukur tentu membutuhkan tempat tinggal, dan dengan tingkat ekonomi yang makin meningkat kebutuhan itu tidak lagi sekadar “hal dasar” tapi juga gaya hidup. Jadilah kemudian, jenis hunian tumbuh dalam beragam kelas, mengikuti “kebutuhan” tadi.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pun mendorong peningkatan urbanisasi. Proses “pengkotaan” ini membuat tuntutan dan kebutuhan hidup serta lingkungan berubah sehingga ada kebutuhan akan fasilitas “gaya hidup kota”.  Hal-hal itu kemudian menjadi sesuatu hal yang dilihat sebagai permintaan. Di sisi lain, masuknya mereka ke industri ini juga karena mereka memiliki aset yang sesuai untuk dijadikan “penyediaan” atas permintaan tersebut.

Alasan itu pula yang dipakai oleh para pemain properti dari kategori Badan Usaha Milik Negara (BUMN) alias perusahaan pemerintah untuk bermain di kolam bisnis properti. Memiliki aset (baca: tanah) di sejumlah lokasi yang kemudian tumbuh, itulah yang membuat para BUMN membangun properti, mulai dari rumah tapak hingga bangunan komersial juga hotel dan resor.

Sejatinya hanya ada tiga BUMN yang betul-betul bergerak di bisnis properti, yaitu Perum Perumnas, lalu PT Bali Tourism & Development Corporation (Persero) dan PT TWC Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (Persero). Dua yang disebut terakhir, sesuai namanya bergerak di dalam pengembangan wisata, sementara Perumnas sejak awal didesain sebagai penyedia perumahan, khususnya kelas menengah ke bawah.  Adapun BUMN lain yang kemudian merambah industri properti berasal dari korporasi yang awalnya bergerak di jasa konstruksi (bangunan dan infrastruktur).  Tercatat di BUMN konstruksi ini, selain Perum Perumnas, ada 4 BUMN yang kemudian memiliki anak usaha/lini usaha khusus realty, yaitu PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero), PT Pembangunan Perumahan (Persero) dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.

Dengan asetnya yang berlokasi strategis (baca: di dalam perkotaan atau wilayah yang berpotensi tumbuh), beberapa BUMN lain di luar sektor konstruksi, kini juga mulai memiliki “divisi” properti.  Misalnya PT Telkom Tbk (Telkom Property), PT KAI dan PT Angkasa Pura. Fungsi divisi/unit usaha itu serupa, mengoptimalkan aset perusahaan yang tersebar di banyak tempat, guna menambah pendapatan perusahaan yang dilakukan dengan pola kerjasama. Pola ini ditempuh terutama setelah adanya Intruksi Menteri BUMN No KEP-109 /MBU/2002 tentang sinergi antar BUMN. Karena memang bukan bisnis utama perusahaan, divisi-divisi itu seakan tidak terdengar kiprahnya. Sebaliknya dengan 4 perusahaan di usaha jasa konstruksi. Bahkan dengan anak usaha khusus realty, PT Adhi Karya (Persero) Tbk dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. kini terhitung agresif.

Masuknya perusahaan konstruksi itu ke dalam bisnis properti, seperti diakui oleh Widyo Praseno, Direktur Operasi II PT Wila Realty, karena bisnis ini memberi profit margin yang lebih tinggi dibandingkan dengan jasa konstruksi.  “Untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan perusahaan,” ujar Seno. Karakter bisnis properti, imbuhnya, memang berbeda dengan jasa konstruksi. “Perlu modal besar dan harus creating value tinggi atas proyek yang dikembangkan,” katanya lagi. Dan terutama sebagai BUMN, dibutuhkan strategi khusus terutama untuk pengembangan. Antara lain, tidak bisa sembarang melepas aset, kecuali sudah masuk ke dalam kantong “aktiva lancar” dan tidak leluasa untuk menambah modal sekalipun didapat dari laba yang diperoleh. “BUMN memiliki aturan laba dan deviden yang harus disetor, jika misalnya setoran itu bisa dikurangi maka itu bisa dijadikan tambahan modal,” papar Seno.

Tak bisa disangkal memang, sebagai perusahaan pemerintah, BUMN wajib memberikan setoran bagi pendapatan negara. Selain pajak, dari usaha-usaha yang dikembangkan itulah pemerintah mendapat pemasukan.  Wajar kiranya mereka lari kencang demi mengejar target. Kebetulan, situasi pasar properti pun sedang kondusif.



Legalitas Beres, Bangun Cepat

Secara prinsip, tambahnya, strategi pengembangan perusahaan pengembang plat merah dan swasta tiada beda. “Memang ada beberapa aturan berbeda dengan perusahaan swasta, tapi selama itu diikuti dan dipatuhi, semuanya bisa dijalankan,” kata Giri Sudaryono, Direktur Utama PT Adhi Persada Properti (APP).  Lebih tepatnya, “Kami harus menjalankan dengan lebih hati-hati,” tegasnya.

Kesamaan lainnya, ujar Giri, harus terus mempunyai lahan cadangan untuk pengembangan. Namun yang paling penting, bukan besarannya, melainkan bagaimana lahan cadangan itu bisa segera diolah dan dikembangkan. “Bukan didiamkan yang justru memakan pendapatan, karena ada biaya yang harus terus dikeluarkan,” ujarnya. Banyak cara mereka lakukan guna menambah lahan cadangan, mulai dari bekerja sama sampai memiliki sendiri. Pola kerjasama itu terbuka kepada siapa saja, termasuk sesama BUMN. Akan tetapi, meski didorong untuk saling bersinergi mengembangkan aset, mereka akan tetap memilih. “Yang penting sesuai dengan visi bisnis dan target pasar kami,” kata Seno.

Karena sangat memegang prinsip kehati-hatian, legalitas yang clear menjadi syarat mutlak untuk semua properti yang dikembangkan, baik untuk lahan hingga operasional bangunan.  Hal inilah juga yang kemudian mereka jadikan “nilai lebih” atas proyek-proyek yang dikembangkan.  “Kami tidak akan membangun, kalau legalitas tanahnya belum beres,” tandas Giri.

Selain legalitas, kepastian membangun juga menjadi “jualan” mereka. Bahkan Adhi Persada Properti dan Wika Realty berani membangun, meski tingkat jualan mereka belum banyak. Tingkat penjualan baru 10% pun, tak gentar bagi mereka untuk memulai proses pengerjaan konstruksi. Keduanya juga berani menjanjikan bisa menyelesaikan pembangunan dalam tempo 10-18 bulan dan dengan kualitas bangunan tidak sembarangan. Maklum, sebagian besar pengerjaan konstruksi menggandeng bisnis dari perusahaan induk, sebagai salah satu bentuk sinergi usaha.

Terkait sinergi usaha ini, juga membuat perusahaan-perusahaan pengembang BUMN yang berbasis konstruksi memiliki “kesempatan” lebih. Seperti diketahui pembangunan konstruksi saat ini begitu banyak dan didorong percepatan pembangunannya, baik infrastruktur regional maupun dalam kota. Tak dipungkiri anak-anak usaha ini juga bisa mendapat keuntungan dari kontrak yang didapat perusahaan induk untuk pembangunan infrastruktur tadi. Grand Dhika City, Bekasi misalnya yang dikembangkan oleh APP. Menyusul kelanjutan kontrak pembangunan monorel rute Jakarta-Bekasi oleh Adhi Karya,  di Grand Dhika City juga akan dibangun stasiun akhir dan depo monorel tersebut. “Kami sudah punya aset lahan dan rencana itu, kemudian perusahaan induk mendapat kontrak, nah kesempatan bagi kami untuk bisa mengintegrasikannya,” ungkap Giri. Dengan integrasi tersebut, keduanya bisa mendapat keuntungan. Bagi APP, proyeknya lebih memiliki nilai jual, karena terintegrasi dengan jalur transportasi modern yang langsung menyambung pusat bisnis Jakarta. Bagi pihak pengelola monorel, tersedia pasar langsung yang tidak perlu repot-repot dicari.

Dengan itu semua, mereka menjamin kalau konsumennya mudah mendapat kredit dari perbankan. Hal ini, secara tidak langsung “mendorong” calon konsumen untuk memilih produk mereka yang berarti kemudian tercipta pasar yang akan menyerap produk mereka. Dan ini sebenarnya strategi mereka memenangi pasar yang sangat kompetitif ini.

Sayangnya, sebagai perusahaan yang mayoritas dimiliki pemerintah, mereka enggan untuk ikut membangun proyek subsidi yang menyasar masyarakat kelas bawah. Tidak secara terang mereka ungkap alasannya, tetapi pada intinya hal itu karena menyangkut kewajiban BUMN yang harus untung. Secara bisnis membangun proyek subsidi seperti rumah sederhana sehat atau rumah susun sederhana masih memberi

untung, tetapi tak bisa dipungkiri biaya yang harus dikeluarkan lebih besar. Bukan secara kapital, tetapi lebih kepada sistem, jaringan dan sumber daya manusia. Ditambah dengan kurang berkesinambungannya kebijakan pemerintah untuk hal itu, membuat mereka semakin enggan untuk ikut terlibat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © THE HIVE TAMANSARI Urang-kurai